Powered by Blogger.
RSS
Post Icon

PEMBAHASAN LAFAZD DARI SEGI KANDUNGAN MAKNA

PEMBAHASAN LAFAZD DARI SEGI KANDUNGAN MAKNA

Makalah ini diajukan untuk melengkapi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh II
Semester Genap 2014

Yang dibimbing oleh:
ZAIYAD ZUBAIDI

 
Disusun oleh:
ZAZIRATUL FARIZA (141209629)
SUCI LESTARI (141209631)
YUNAHAR ALI (141209630)

JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM  NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH, 2014
KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya  sehingga kami diberikan waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah Ushul fiqh II dengan judul “Pembahasan lafaz dari segi kandungan makna
            Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh II jurusan Syari’ah Jinayah wa Siyasah, IAIN Ar-Raniry. Kami menulis makalah ini untuk membantu mahasiswa supaya lebih  memahami mata kuliah khususnya mengenai Ushul fiqh II.
            Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak termasuk teman-teman  yang telah berpartisipasi dalam mencari bahan-bahan untuk menyusun tugas ini sehingga memungkinkan terselesaikan makalah ini, meskipun banyak terdapat kekurangan.
            Akhir kata, kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangan pikiran dan bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami.Oleh karena itu dengan terbuka dan senang hati kami menerima kritik dan saran dari semua pihak.


Banda Aceh, 16 April 2014

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................

BAB 1 : PENDAHULUAN
A.    LatarbelakangMasalah.......................................................................
B.     RumusanMasalah...............................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
‘Am, Khas, Takhsis, Mutlak, dan Muqayyad...................................................
A.    ‘Am
a.    Pengertian ‘Am............................................................................
b.    Macam-macam lafadh ‘am...........................................................
c.    Dilalah lafadh ‘Am......................................................................
B.     Khas
a.    Pengertian Khas...........................................................................
b.    Ketentuan lafadh khas.................................................................
C.    Takhsis..............................................................................................
a.    Pengertian Takhsis.......................................................................
b.    Dalil takhsis.................................................................................
c.    Macam-macam mukhashshis........................................................
D.    Mutlak .............................................................................................
a.    Pengertian Mutlak........................................................................
b.    Contoh-contoh lafadh mutlak......................................................
c.    Hukum mutlak ............................................................................
E.     Muqayyad .......................................................................................
a.    Pengertian muqayyad..................................................................
b.    Contoh muqayyad.......................................................................
c.    Hukum muqayyad.......................................................................
BAB III : PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................
B.     Kritik dan Saran...........................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................







BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar belakang masalah
            Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’ah menyangkut lafazh. Sebenarnya, lafazh-lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya, petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara’ itu beraneka ragam. Bahkan, ada yang kurang jelas (khafa).
Diantara dari lafazh-lafazh tersebut adalah lafazh ‘am, khas, taksis, mutlak dan muqayyad  yang akan dibahas pada pembahasan selanjutnya. Lafazh 'am ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu lafazh, di dalam lafazh itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai dengan lafazh itu. sebagaimana kita katakan al insan (manusia), maka di dalam kata-kata al insan ini termasuk semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia kecil maupun manusia besar, baik dia merdeka maupun dia masuk golongan budak, baik dia bebas maupun dia terikat.
Adakalanya lafazh umum itu ditentukan dengan lafazh yang telah disediakan, untuk itu, seperti lafazh “kullu, jami’u”, dll. Di samping lafazh umum, terdapat pula suatu lafazh yang menunjukkan kepada khusus. lafazh khusus ini ada kalanya dipergunakan untuk seorang atau barang atau hal tertentu, seperti Abdullah, atau seperti radio dll. Berarti lafazh khas ini bisa dikatakan sebagai lafazh yang tidak meliputi keseluruhan sebagaimana lafadh ‘am.
B.            Rumusan masalah
1.      Membahas tentang lafadh ‘am
2.      Membahas tentang lafadh khas
3.      Membahas tentang lafadh takhsis
4.      Membahas tentang lafadh mutlak
5.      Membahas tentang lafadh muqayyad


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Lafadh ‘Am
a.              Pengertian ‘Am
Lafadz ‘amm ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para  ulama Usul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut :
1.      Menurut ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadz maupun makna
2.      Menurut ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang  dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
b.        Macam-macam lafadh ‘Am
1.      Lafadh Kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya) Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafadh-lafadh itu.
Contohnya :
·         Kullun
“Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali Imran : 185)
·         Jami’un
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumi, semuanya.” (QS Al Baqarah : 29)
·         Kaaffah
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’ : 28)
·         Ma’syar
“Hai sekalian jin dan manusia ! Apakah tidak pernah datang kepadamu rasul-rasul dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan hari (kiamat) ini?” (QS. Al-An’am : 131)

2.      Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina (dimana), ayyun (siapakah), dan mata (kapan).
Contohnya : “Kapan datangnya pertongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 215)
3.      Isim isyarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja)
Contohnya :  Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 123)
4.      Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah:
Contohnya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
5.      Jama’ yang dita’rifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah:
Contohnya :
·         Makrifat dengan alif lam (al) : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang lurus.” (QS. Al-Maidah [5] : 42)
·         Makrifat dengan idhafah : “Terlarang bagimu (mwngawini) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 23)
6.      Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi :
Contohnya : “Jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat) yang pada hari itu, seorang pun tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun.” (QS. Al-Baqarah [2] : 48)
7.      Isim maushul (alladzi, alladziina, allatina, ma) 
“Sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang itu makan apa pada perut mereka.” (QS. An-Nisa’ [4] : 10)

c.         Dilalah lafadh ‘Am
Para ulama sepakat bahwa lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz ‘amm yang  disertai qarinah yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu kusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafadz ‘amm, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis,maka dilalahnya dzanni.
Mereka beralasan,”sesungguhnya suatu lafadz apabila dipasangkan (di-wadha’-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Menurut jumhur ulama (malikiyah,Syafi’iyyah,dan Hanbaliyah) dilalah ‘amm adalah dzanni.Mereka beralasan kalau dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah dahir, yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini pada lafadz ‘amm banyak sekali. Selama  kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. Sehubungan dengan hal in, ibnu Abbas berkata : Dalam Al-qur’an semua lafadz umum itu ada taksisnya, kecuali firman Alloh Swt : ”Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Oleh karena itu mereka mengeluarkan satu kaidah yang berbunyi:
مامن عام الا وقد خصص
“Tidaklah ada (lafadz) yang umu kecuali sudah di taksis”.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur tersebut, menurutnya kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil.

B.            Khas
a.    Pengertian khas
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash, sebagai berikut : “Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya”.  
Dapat disimpulkan bahwa khas ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum atau menunjukkan satu jenis, seperti perempuan. Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.
b.    Ketentuan Lafadh khas
·           Secara umum lafadz Khash hukumnya ialah jika ada dalam nash syara’, yang menunjukkan secara qaht’i terhadap maknanya maka hukumnya dari lafadz tersebut ialah Qath’i (pasti), bukan dugaan.
·           Jika dari lafadz khash terdapat dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap arti lain, maka dialihkan terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
·           Jika dalam suatu kasus hukumnya khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain, maka lafadz khash membatasi pemberlakuan ‘am.
·           Bila ditemukan perbenturan antara dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang khash mentakhshishkan yang ‘am, atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am.
C.      Takhsis
a.         Pengertian takhsis
Pengertian takhsihsh menurut Drs. Moh. Rifa’i ialah, sebagai berikut: “Takhsish artinya menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk  dibawah lingkungan umum ketika tidak ada yang mentakhsihsh. Mukhashshish ialah a) orang yang mempergunakan takhshish; b) dalil yang dipakai takhsish. Makhsush ialah ‘am yang kena takhsish.
Menurut abdul wahhab khallaf: “Takhshish ialah penjelesan bahwa yang dimaksud oleh pembuat hukum tentang lafadz ‘am itu pada mulanya adalah sebagian afradnya.

b.        Dalil Takhsis

Dalil takhsis disebut Mukhasis atau sesuatu yang mentakhsiskan. mukhashish itu terbagi menjadi dua macam : berbentuk nash (teks) dan  bukan dalam bentuk nash. Dalam hubungannya dengan lafadz ‘am, mukhashshish itu ada yang terpisah dengan lafadz ‘am  dan ada yang menyatu dengan lafadz ‘am. 
c.         Macam-macam mukhashshis
·           Mukhashshis muttasil yaitu yang tidak berdiri sendiri, maknanya berkaitan dengan lafal sebelumnya.
Misalnya: “Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan (membunuhnya), kecuali dengan jalan yang dibenarkan.” (QS. Al-An’am [6] :151)
Susunan Janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan membunuhnya itu menunjukkan umum, artinya tidak boleh membunuh seorang pun, kecuali dengan jalan yang benar, yaitu qishash atau di dalam pertempuran.
·           Mukhashshish munfasil yaitu berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan pengertian umum.
Misalnya: “Dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al’a’raf [7] : 31)
D.    Mutlaq
a.         Pengertian mutlaq
Para ulama ushul memberikan definisi muthlaq dengan berbagai definis, namun semuanya bertemu pada satu pengertian yaitu muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat suatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan. Secara istilah, lafadz muthlaq didefinisikan sebagai lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
b.        Contoh-contoh lafadh mutlaq
·           Contoh lafadz muthlaq dalam nash ( Al Qur'an) dapat diamati dari lafadz raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah ayat 3 :
“ Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekakan budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat "maka merdekakanlah seorang budak" mengingat lafadz raqabah (budak) merupakan lafadz muthlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah.
·           Contoh lafadz muthlaq lain dapat ditemukan pada firman Allah surat al-Nisaa ayat 43:
“ Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas dalam tayammum itu harus mengusap tangan dengan debu dan tidak dibatasi bagian mana saja asalkan bagian tangan. 
Dilihat secara sepintas lafadz muthlaq mirip dengan lafadz 'aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafadz 'amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafadz muthlaq bersifat badali (menggantikan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan terjadinya kebersamaan, tetapi tidak menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy.
c.         Hukum mutlak
Lafadz muthlaq yang terdapat dalam nash harus diamalkan sesuai dengan kemuthlaqannya kecuali bila ada dalil yang menunjukkan sebagai muqayyad, karena mengamalkan nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah hukumnya wajib seperti apa yang dituntut oleh nash-nash tersebut sampai ada dalil yang berbeda dengan dengan hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini, muthlaq adalah qath'i al-dalalah.
Misalnya surat al-Mujadilah, 58:3 yang artinya “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur” Lafadz raqabah (budak) dalam ayat ini disebut secara muthlaq tanpa membedakan antara budak beriman atau kafir.
Adapun ayat yang mentaqyid ayat tersebut adalah pada surat Al-Nisa', 4:92, Allah menggunakan lafadz raqabah juga, “ Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. Karena itu yang dimaksud budak ketika mendzihar isteri adalah budak yang beriman.
Apabila ada dalil sebagai taqyid (pembatas) dari dalil yang muthlaq, diamalkan sesuai dengan taqyid-nya, seperti firman Allah surat al-Nisa', 4:11 : “Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya.”
Kata washiyah yang terdapat pada ayat ini adalah muthlaq, tanpa ada taqyid dari ayat lain tentang jumlah wasiat itu, apakah seperempat, setengah atau sepertiga. Taqyid dari kemuthlaqan lafadz washiyah pada ayat ini ditemukan dalam hadits Nabi saw. Hadits seandainya seseorang mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi seperempat? Nabi saw menjawab: Rasulullah saw. Bersabda : “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak” (HR. Muttafaq Alaih).

E.     Muqayyad
a.         Pengertian muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, Syekh Al Utsaimin mendifinisikan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain". Sementara Firdaus mengutip pendapat Abdul Karim Zaidan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu". Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (Seorang laki-laki asal Irak), dan raqabah mu'minah (hamba sahaya yang beriman). 
Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Firdaus dalam Ushul Fiqh bahwa: "pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya." Penggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa', 4:92 : ” Barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu mu'minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yag membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman.
d.        Contoh-contoh muqayyad
Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89.
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid dalam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru boleh dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah, 2:187 :
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal  (puasa sepanjang hari).
e.         Hukum muqayyad
Dalam pandangan ahli ushul fiqh, mereka menetapkan hukum wajib mengamalkan muqayyad. Misalnya, firman Allah pada surat al-Mujadilah, 58:4
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur”.
Berdasarkan ayat diatas kewajiban melakukan puasa selama dua bulan pada ayat tentang kaffarat zhihar diatas ditaqyidkan dengan cara berturut-turut dan harus dilakukan sebelum suami isteri bercampur. Sehubungan dengan itu, tidak boleh puasa dua bulan tersebut dilakukan dengan tidak berturut-turut dan tidak boleh dilakukan sesudah bercampur.
Ahli ushul fiqh menetapkan bahwa lafadz muqayyad tidak tetap sebagai muqayyad apabila ada dalil lain yang menghapuskan batasannya. Misalnya, pada firman Allah surat al-Nisa', 4:23 yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dikawini,
“Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri”. 
Pada ayat ini terdapat lafadz rabaaibukum (anak tirimu) yang merupakan lafadz muthlaq yang diberi batasan dengan dua hal, yaitu : allati fi hujuurikum (yang berada dalam pemeliharaanmu) dan 'allati dakhaltum bihinaa (yang ibunya telah dicampuri). Batasan lain, yaitu ibunya yang telah dicampuri, tetap diamalkan, selama ibunya belum dicampuri. Apabila sudah dicampuri, hukumnya haram.





























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman atau penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Oleh karena banyaka ayat-ayat yang mengandung seperti ‘am, khas,takhsis, mutlak dan muqayyad. Dari beberapa definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut.

B.     Kritik dan Saran
Kami sebagai penulis mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang tertulis dalam makalah kami ini, dan kami sangat berharap atas kritik dan saran dari para pembaca sekalian. mubayyan.










DAFTAR PUSTAKA
Usman, muchlis. 1999. “Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah”. Cetakan ketiga, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
            Abdurrahman, hafidz. 2003. “ushul fiqh membangun paradigma berfikir tasyri’I”. cetakan pertama. Bogor: Al azhar press
            Khallaf, abdul wahhab. 2002. “kaidah-kaidah hokum islam ilmu ushulul fiqh”. Cetakan kedelapan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

            Effendi, satria. 2005. “Ushul fiqh”. Cetakan pertama, Jakarta: Prenada Media

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment