PEMBAHASAN
LAFAZD DARI SEGI KANDUNGAN MAKNA
Makalah ini diajukan untuk melengkapi Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqh II
Semester Genap 2014
Yang dibimbing oleh:
ZAIYAD ZUBAIDI
Disusun oleh:
ZAZIRATUL FARIZA (141209629)
SUCI LESTARI (141209631)
YUNAHAR ALI (141209630)
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya sehingga kami diberikan waktu dan kesempatan
untuk menyelesaikan makalah Ushul fiqh II dengan judul “Pembahasan
lafaz dari segi kandungan makna”
Makalah ini
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh II jurusan Syari’ah
Jinayah wa Siyasah, IAIN Ar-Raniry. Kami menulis makalah ini untuk membantu
mahasiswa supaya lebih memahami mata
kuliah khususnya mengenai Ushul fiqh II.
Terima kasih kami
ucapkan kepada semua pihak termasuk teman-teman
yang telah berpartisipasi dalam mencari bahan-bahan untuk menyusun tugas
ini sehingga memungkinkan terselesaikan makalah ini, meskipun banyak terdapat
kekurangan.
Akhir kata, kami
berharap mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangan pikiran dan
bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan kami.Oleh karena itu dengan terbuka dan senang hati kami menerima
kritik dan saran dari semua pihak.
Banda Aceh, 16 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................
DAFTAR
ISI.......................................................................................................
BAB 1 : PENDAHULUAN
A. LatarbelakangMasalah.......................................................................
B. RumusanMasalah...............................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
‘Am, Khas, Takhsis, Mutlak, dan Muqayyad...................................................
A.
‘Am
a. Pengertian ‘Am............................................................................
b.
Macam-macam lafadh ‘am...........................................................
c.
Dilalah lafadh ‘Am......................................................................
B.
Khas
a.
Pengertian
Khas...........................................................................
b.
Ketentuan lafadh khas.................................................................
C.
Takhsis..............................................................................................
a. Pengertian Takhsis.......................................................................
b. Dalil takhsis.................................................................................
c. Macam-macam mukhashshis........................................................
D.
Mutlak .............................................................................................
a.
Pengertian Mutlak........................................................................
b.
Contoh-contoh lafadh mutlak......................................................
c.
Hukum mutlak ............................................................................
E.
Muqayyad .......................................................................................
a.
Pengertian muqayyad..................................................................
b.
Contoh muqayyad.......................................................................
c.
Hukum muqayyad.......................................................................
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan..................................................................................
B.
Kritik dan Saran...........................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Untuk
menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari pembahasan
kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’ah
menyangkut lafazh. Sebenarnya, lafazh-lafazh yang menunjukkan hukum harus
jelas dan tegas supaya tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun dalam
kenyataannya, petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat
dalam nash syara’ itu beraneka ragam. Bahkan, ada yang kurang jelas
(khafa).
Diantara
dari lafazh-lafazh tersebut adalah lafazh ‘am, khas, taksis, mutlak dan
muqayyad yang akan dibahas pada
pembahasan selanjutnya. Lafazh 'am ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu
lafazh, di dalam lafazh itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai
dengan lafazh itu. sebagaimana kita katakan al insan (manusia), maka
di dalam kata-kata al insan ini termasuk semua manusia yang ada di dunia ini,
baik manusia kecil maupun manusia besar, baik dia merdeka maupun dia masuk
golongan budak, baik dia bebas maupun dia terikat.
Adakalanya
lafazh umum itu ditentukan dengan lafazh yang telah disediakan, untuk itu,
seperti lafazh “kullu, jami’u”, dll. Di samping lafazh umum, terdapat pula
suatu lafazh yang menunjukkan kepada khusus. lafazh khusus ini ada kalanya
dipergunakan untuk seorang atau barang atau hal tertentu, seperti Abdullah,
atau seperti radio dll. Berarti lafazh khas ini bisa dikatakan sebagai lafazh
yang tidak meliputi keseluruhan sebagaimana lafadh ‘am.
B.
Rumusan masalah
1.
Membahas tentang lafadh
‘am
2.
Membahas tentang lafadh
khas
3.
Membahas tentang lafadh
takhsis
4.
Membahas tentang lafadh
mutlak
5.
Membahas tentang lafadh
muqayyad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lafadh ‘Am
a.
Pengertian ‘Am
Lafadz
‘amm ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Usul Fiqih
memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut :
1.
Menurut ulama Hanafiyah adalah
setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadz maupun makna
2. Menurut
ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz
yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
b.
Macam-macam lafadh ‘Am
1.
Lafadh Kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya) Masing-masing
lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari
lafadh-lafadh itu.
Contohnya
:
·
Kullun
“Tiap-tiap
(seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali Imran :
185)
·
Jami’un
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu
apa-apa yang ada dibumi, semuanya.” (QS Al Baqarah : 29)
·
Kaaffah
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh
manusia.” (QS. Saba’ : 28)
·
Ma’syar
“Hai sekalian jin dan manusia ! Apakah tidak pernah datang
kepadamu rasul-rasul dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan kepadamu
ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan hari
(kiamat) ini?” (QS. Al-An’am : 131)
2.
Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina (dimana), ayyun (siapakah),
dan mata (kapan).
Contohnya : “Kapan datangnya pertongan Allah? Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] :
215)
3.
Isim isyarat, seperti man (barang siapa), ma (apa
saja), dan ayyun (yang mana saja)
Contohnya
: Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
karena kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 123)
4.
Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam
(al) atau idhafah:
Contohnya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan
riba.” (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
5.
Jama’ yang dita’rifkan (makrifat) dengan alif
lam atau dengan idhafah:
Contohnya :
·
Makrifat dengan alif lam (al) :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang lurus.” (QS. Al-Maidah [5] :
42)
·
Makrifat dengan idhafah : “Terlarang
bagimu (mwngawini) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 23)
6.
Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi :
Contohnya : “Jagalah dirimu
dari (azab) hari (kiamat) yang pada hari itu, seorang pun tidak dapat membela
orang lain walau sedikit pun.” (QS. Al-Baqarah [2] : 48)
7.
Isim maushul (alladzi, alladziina, allatina, ma)
“Sesungguhnya
orang-orang yang makan harta anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang itu
makan apa pada perut mereka.” (QS. An-Nisa’ [4] : 10)
c.
Dilalah lafadh ‘Am
Para ulama
sepakat bahwa lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan
penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz ‘amm
yang disertai qarinah yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu
kusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu
qath’i, yang dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu
kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama
sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafadz ‘amm, pada
mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki
takhsis,maka dilalahnya dzanni.
Mereka beralasan,”sesungguhnya suatu lafadz apabila
dipasangkan (di-wadha’-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang
pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Menurut jumhur ulama (malikiyah,Syafi’iyyah,dan Hanbaliyah)
dilalah ‘amm adalah dzanni.Mereka beralasan kalau dilalah ‘amm itu termasuk
bagian dilalah dahir, yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini
pada lafadz ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka
tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. Sehubungan dengan
hal in, ibnu Abbas berkata : Dalam Al-qur’an semua lafadz umum itu ada
taksisnya, kecuali firman Alloh Swt : ”Dan Allah Maha Mengetahui atas segala
sesuatu”.
Oleh karena itu mereka mengeluarkan satu kaidah yang
berbunyi:
مامن عام الا وقد خصص
“Tidaklah
ada (lafadz) yang umu kecuali sudah di taksis”.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur tersebut, menurutnya
kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara
(mutakallimin), bukan dari dalil.
B.
Khas
a.
Pengertian khas
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti
yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan
lafal Khash, sebagai berikut : “Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk
menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu
jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan
terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan
lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada
seluruh satuannya”.
Dapat disimpulkan bahwa khas ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti
sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum atau
menunjukkan satu jenis, seperti perempuan. Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.
b.
Ketentuan Lafadh khas
·
Secara umum lafadz Khash hukumnya
ialah jika ada dalam nash syara’, yang menunjukkan secara qaht’i terhadap
maknanya maka hukumnya dari lafadz tersebut ialah Qath’i (pasti), bukan dugaan.
·
Jika dari lafadz khash terdapat
dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap arti lain, maka dialihkan
terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
·
Jika dalam suatu kasus hukumnya
khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain, maka lafadz khash membatasi
pemberlakuan ‘am.
·
Bila ditemukan perbenturan antara
dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang khash mentakhshishkan yang ‘am,
atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am.
C.
Takhsis
a.
Pengertian takhsis
Pengertian takhsihsh menurut Drs. Moh. Rifa’i ialah, sebagai
berikut: “Takhsish artinya menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang
masuk dibawah lingkungan umum ketika tidak ada yang mentakhsihsh.
Mukhashshish ialah a) orang yang mempergunakan takhshish; b) dalil yang dipakai
takhsish. Makhsush ialah ‘am yang kena takhsish.
Menurut abdul
wahhab khallaf: “Takhshish
ialah penjelesan bahwa yang dimaksud oleh pembuat hukum tentang lafadz ‘am itu
pada mulanya adalah sebagian afradnya.
b.
Dalil Takhsis
Dalil takhsis disebut Mukhasis atau sesuatu yang
mentakhsiskan. mukhashish itu terbagi menjadi dua macam : berbentuk nash (teks)
dan bukan dalam bentuk nash. Dalam
hubungannya dengan lafadz ‘am, mukhashshish itu ada yang terpisah dengan lafadz
‘am dan ada yang menyatu dengan lafadz ‘am.
c.
Macam-macam mukhashshis
·
Mukhashshis muttasil yaitu yang tidak berdiri sendiri, maknanya berkaitan dengan lafal
sebelumnya.
Misalnya: “Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah
haramkan (membunuhnya), kecuali dengan jalan yang dibenarkan.” (QS.
Al-An’am [6] :151)
Susunan Janganlah
kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan
membunuhnya itu menunjukkan umum, artinya tidak boleh membunuh seorang
pun, kecuali dengan jalan yang benar, yaitu qishash atau di dalam
pertempuran.
·
Mukhashshish munfasil
yaitu berdiri sendiri, terpisah dari dalil
yang memberikan pengertian umum.
Misalnya:
“Dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al’a’raf
[7] : 31)
D.
Mutlaq
a.
Pengertian mutlaq
Para ulama ushul memberikan definisi muthlaq dengan
berbagai definis, namun semuanya bertemu pada satu pengertian yaitu muthlaq
adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat suatu tanpa pembatasan yang dapat
mempersempit keluasan. Secara istilah, lafadz muthlaq didefinisikan sebagai
lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu
hal yang lain.
b.
Contoh-contoh lafadh mutlaq
·
Contoh lafadz muthlaq dalam nash (
Al Qur'an) dapat diamati dari lafadz raqabah yang terdapat dalam firman Allah
surat al-Mujadilah ayat 3 :
“ Orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah
yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat
ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya
dengan ibunya dengan memerdekakan budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat
"maka merdekakanlah seorang budak" mengingat lafadz raqabah (budak) merupakan
lafadz muthlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar
tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak,
baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata
raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah.
·
Contoh lafadz muthlaq lain dapat
ditemukan pada firman Allah surat al-Nisaa ayat 43:
“ Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.”
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat
ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak
diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas dalam tayammum itu harus
mengusap tangan dengan debu dan tidak dibatasi bagian mana saja asalkan bagian
tangan.
Dilihat
secara sepintas lafadz muthlaq mirip dengan lafadz 'aam, tetapi sebenarnya
antara keduanya berbeda. Pada lafadz 'amm keumumannya bersifat syumuliy
(melingkupi), sementara keumuman lafadz muthlaq bersifat badali (menggantikan).
Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya,
sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang
menggambarkan terjadinya kebersamaan, tetapi tidak menggambarkan untuk setiap
satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy.
c.
Hukum mutlak
Lafadz muthlaq yang terdapat dalam nash harus diamalkan
sesuai dengan kemuthlaqannya kecuali bila ada dalil yang menunjukkan sebagai
muqayyad, karena mengamalkan nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah hukumnya wajib
seperti apa yang dituntut oleh nash-nash tersebut sampai ada dalil yang berbeda
dengan dengan hal tersebut. Dalam
kondisi seperti ini, muthlaq adalah qath'i al-dalalah.
Misalnya
surat al-Mujadilah, 58:3 yang artinya “Orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur” Lafadz raqabah (budak) dalam ayat ini disebut secara muthlaq tanpa
membedakan antara budak beriman atau kafir.
Adapun
ayat yang mentaqyid ayat tersebut adalah pada surat Al-Nisa', 4:92, Allah
menggunakan lafadz raqabah juga, “ Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Karena itu yang dimaksud budak ketika mendzihar isteri adalah budak yang
beriman.
Apabila ada dalil sebagai taqyid (pembatas) dari dalil yang muthlaq, diamalkan sesuai dengan taqyid-nya, seperti firman Allah surat al-Nisa', 4:11 : “Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya.”
Apabila ada dalil sebagai taqyid (pembatas) dari dalil yang muthlaq, diamalkan sesuai dengan taqyid-nya, seperti firman Allah surat al-Nisa', 4:11 : “Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya.”
Kata
washiyah yang terdapat pada ayat ini adalah muthlaq, tanpa ada taqyid dari ayat
lain tentang jumlah wasiat itu, apakah seperempat, setengah atau sepertiga.
Taqyid dari kemuthlaqan lafadz washiyah pada ayat ini ditemukan dalam hadits
Nabi saw. Hadits seandainya seseorang mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi
seperempat? Nabi saw menjawab: Rasulullah saw. Bersabda : “Sepertiga, dan
sepertiga itu banyak” (HR. Muttafaq Alaih).
E. Muqayyad
a.
Pengertian muqayyad
Secara bahasa,
kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, Syekh Al Utsaimin
mendifinisikan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang
sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain".
Sementara Firdaus mengutip pendapat Abdul Karim Zaidan bahwa "muqayyad
adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan
dengan sifat tertentu". Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (Seorang
laki-laki asal Irak), dan raqabah mu'minah (hamba sahaya yang beriman).
Menurut
Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Firdaus dalam Ushul Fiqh bahwa:
"pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau
dengan bentuk pembatasan yang lainnya." Penggunaan sifat sebagai
pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa', 4:92 : ” Barangsiapa
membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman.”
Kata
raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu mu'minah
(beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yag membunuh seorang
mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman dan
tidak sah memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman.
d.
Contoh-contoh muqayyad
Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam
kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89.
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang
budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan
yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan
jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar
kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Ayat ini
menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat
sumpah dengan ada qayyid dalam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru boleh
dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun
contoh muqayyad dalam bentuk ghayah dapat diamati pada firman Allah surat
al-Baqarah, 2:187 :
“Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
Dalam ayat
ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu
(ghayah), yaitu al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa
washal (puasa sepanjang hari).
e.
Hukum muqayyad
Dalam
pandangan ahli ushul fiqh, mereka menetapkan hukum wajib mengamalkan muqayyad.
Misalnya, firman Allah pada surat al-Mujadilah, 58:4
“Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur”.
Berdasarkan
ayat diatas kewajiban melakukan puasa selama dua bulan pada ayat tentang
kaffarat zhihar diatas ditaqyidkan dengan cara berturut-turut dan harus
dilakukan sebelum suami isteri bercampur. Sehubungan dengan itu, tidak boleh
puasa dua bulan tersebut dilakukan dengan tidak berturut-turut dan tidak boleh
dilakukan sesudah bercampur.
Ahli ushul
fiqh menetapkan bahwa lafadz muqayyad tidak tetap sebagai muqayyad apabila ada
dalil lain yang menghapuskan batasannya. Misalnya, pada firman Allah surat
al-Nisa', 4:23 yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dikawini,
“Anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri”.
Pada ayat
ini terdapat lafadz rabaaibukum (anak tirimu) yang merupakan lafadz muthlaq
yang diberi batasan dengan dua hal, yaitu : allati fi hujuurikum (yang berada
dalam pemeliharaanmu) dan 'allati dakhaltum bihinaa (yang ibunya telah
dicampuri). Batasan lain, yaitu ibunya yang telah dicampuri, tetap diamalkan,
selama ibunya belum dicampuri. Apabila sudah dicampuri, hukumnya haram.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman atau
penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang
maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Oleh
karena banyaka ayat-ayat yang mengandung seperti ‘am, khas,takhsis, mutlak dan
muqayyad. Dari beberapa definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan
suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang
menyampaikan lafal tersebut.
B.
Kritik dan Saran
Kami sebagai penulis mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang tertulis
dalam makalah kami ini, dan kami sangat berharap atas kritik dan saran dari
para pembaca sekalian. mubayyan.
DAFTAR
PUSTAKA
Usman, muchlis. 1999. “Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah”.
Cetakan ketiga, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Abdurrahman, hafidz. 2003. “ushul
fiqh membangun paradigma berfikir tasyri’I”. cetakan pertama. Bogor: Al
azhar press
Khallaf, abdul wahhab. 2002. “kaidah-kaidah
hokum islam ilmu ushulul fiqh”. Cetakan kedelapan, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Effendi, satria. 2005. “Ushul
fiqh”. Cetakan pertama, Jakarta: Prenada Media
0 comments:
Post a Comment